Sabtu, 30 Juni 2012

RINDU KABAH


Kerinduan untuk thawaf, jalan berputar mengelilingi Ka’bah menjadi kerinduan besar, apalagi ketika musim haji datang menjelang. Umat manusia dari suku-suku lain di jazirah Arab dapat dengan mudah mengunjungi Makkah untuk haji, umrah maupun keperluan perdagangan yang menjadi mata pencaharian mereka.

Kemarahan kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin yang dianggap telah keluar dari agama tradisional mereka yang menyembah berhala membakar hangus seluruh jejak kebaikan, kedekatan nasab, jalinan silaturrahim, dan persahabatan yang telah terbangun bertahun-tahun sebelum masa kenabian.

Kafir Quraisy Makkah melarang kaum muslimin untuk berkunjung ke Makkah dalam rangka keperluan apapun. Termasuk pada bulan-bulan haram (Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram) yang telah menjadi konsensus bangsa Arab, bahwa pada bulan-bulan itu tidak boleh ada kekerasan apalagi kezhaliman. Bahkan jika seseorang bertemu dengan pembunuh ayah atau saudaranya pada bulan-bulan haram itu, maka tidak boleh melakukan hukuman pembalasan. Konsensus dan moratorium kekerasan ini kaum Kafir Quraisy berlakukan  untuk semua kabilah, kecuali kaum muslimin Madinah. Kobar api permusuhan dan peperangan dalam hati mereka, sudah menghapus semua konsensus itu.

Setelah kegagalan pasukan Ahzab (pasukan gabungan Quraisy, Ghathfan, Yahudi dan beberapa suku Arab lain) pimpinan Abu Sufyan yang tidak kurang dari sepuluh ribu pasukan itu, tak mampu menembus khandaq (parit) yang mengisolasi Madinah, dan tenda pasukan kafir yang porak-poranda oleh terpaan angin yang Allah kirimkan, setelah mereka lebih dari satu bulan mengurung kaum muslimin dalam cuaca dingin dan minim cadangan pangan. Kegagalan pasukan Ahzab ini memberikan kesan semakin melemahnya kekuatan Kafir Quraisy Makkah dan semakin solidnya Kaum Muslimin Madinah.

Dalam situasi seperti itulah Rasulullah SAW bermimpi bahwa ia bersama dengan kaum muslimin dapat memasuki Makkah dengan pakaian ihram, melaksanakan umrah hingga mencukur rambut, yang menandakan kesempurnaan pelaksanaan ibadah ini. Mimpi ini Rasulullah SAW sampaikan kepada kaum muslimin di Madinah yang baru saja melihat kekuatan Quaraisy Makkah yang makin melemah.

Rabu, 27 Juni 2012

KAFIR QURAISY MENYAMBUT MUSIM HAJI


Musim haji itu menjadi musim yang menggelisahkan para pemuka kafir Quraisy. Kedatangan ummat manusia dari berbagai penjuru Arab menimbulkan kekhawatiran besar bagi mereka akan tersebar luaskannya Islam yang Rasulullah SAW ajarkan.

Maka berkumpullah tokoh-tokoh kafir Quraisy itu di rumah Al Walid bin Al Mughirah, ayah Khalid bin Al Walid,  seorang pemuka Quraisy yang sangat disegani karena senior dan kecerdasannya dalam memutuskan perkara. Kaum kafir Quraisy melakukan konsolidasi kebatilan untuk membendung perkembangan dakwah yang terus memancar.

Mereka berkata: “Wahai Abu Abdi Sayms, katakan kepada kami satu pernyataan yang akan kami jadikan sebagai referensi”. Kaum kafir Quraisy meminta agar Al Walid bin Al Mughirah menetapkan satu sikap yang akan mereka terima semua. Tetapi Al Walid menolak cara ini dan mengajak mereka bermusyawarah, agar merasa terlibat dan berlatih merumuskan masalah dengan baik. Al Walid berkata: “Coba katakan apa yang menjadi usulan kalian, akan kami dengarkan dengan baik”. Ada yang mengusulkan: ” agar kita sebut Muhammad itu sebagai Kahin (dukun/paranormal)”

Menanggapi usulan ini Al Walid berkata: “Kita semua telah mengetahui sifat para dukun, dan ternyata ia tidak memiliki sifat itu. Muhammad tidak memiliki mantra-mantra sebagaimana para dukun”.

Lalu ada yang mengusulkan: “Kalau begitu kita sebut saja Muhammad itu majnun (gila)”. Al Walid kembali menolak usulan ini dengan mengatakan: “Kita semua sudah mengetahui ciri orang-orang gila, dan kita tidak temukan satupun ciri itu ada dalam diri Muhammad”.
Kemudian ada yang mengusulkan: “Kita sebut saja Muhammad itu penyair”. Al Walid menanggapi usulan inipun dengan mengatakan: “Kita juga sudah mengetahui dengan baik kaidah-kaidah syair, yang pendek, sedang maupun yang panjang. Dan dalam seluruh ucapan Muhammad itu tidak ada satupun yang sesuai dengan kaidah-kaidah syair yang kita terima. 

Maka bacaan Muhammad itu pastilah bukan syair Arab seperti yang kita ketahui”.
Lalu ada yang mengusulkan: “Bagaimana jika kita sebut dia sebagai saahir (tukang sihir/hipnotis)”. Al Walid menanggapi usulan ini dengan mengatakan: “Kita juga sudah mengetahui ciri-ciri dan aktifitas para saahir, dan kita tidak temukan itu dalam bacaan Muhammad. Dan yang kita dengar dari bacaannya adalah keindahan yang tiada tara, rasa manis yang tidak terkira, berakar kuat seperti pohon kurma, berbuah rimbun di setiap ranting dan dahannya. Dan apapun yang kalian tuduhkan kepadanya pastilah akan terkuat kebatilan tuduhan itu”.

Perdukunan pada masyarakat jahiliyah saja dianggap sebagai sebutan negatif, setara dengan orang gila, dan tukang sihir sehingga mereka ingin melekatkan itu kepada Rasulullah saw. Namun musyawarah untuk mencari sebutan negatif yang dapat menjauhkan dakwah Rasulullah dari kemungkinan simpati para pengunjung Ka’bah musim haji tahun itu justru memunculkan sebuah kesimpulan yang menguatkan kebenaran dakwah Rasulullah saw, karena semua predikat negatif yang hendak mereka lekatkan pada Rasulullah saw itu  akhirnya mentah oleh fakta dakwah itu sendiri.

Al Walid yang menjadi rujukan dalam musyawarah itu menunjukkan pengakuan obyektifnya tentang kebenaran dakwah Rasulullah saw, tetapi semangat permusuhan dan kebenciannya kepada dakwah tidak membuatnya putus asa untuk terus mencari sebutan negatif yang bisa dilekatkan dengan dakwah Rasulullah saw ketika itu.

Maka Al Walid mengatakan: “Sesungguhnya predikat yang paling dekat dengan Muhammad adalah saahir (tukang sihir/hipnotis), maka populerkan istilah itu sebelum kedatangan para pengunjung Ka’bah di musim haji ini. Dan jika ada yang meminta pembuktian kemampuan sihirnya maka jelaskan bahwa Muhammad telah memisahkan hubungan persahabatan antara bangsa Quraisy, ia telah memisahkan hubungan anak dan orang tua, memisahkan hubungan antara saudara, memisahkan hubungan suami dengan istrinya, dan bahkan hubungan keluarga”.

Penjelasan Al Walid bin Al Mughirah dirasa cukup untuk menjadi argumen dalam memberikan label saahir kepada Rasulullah saw. Peristiwa inilah yang diabadikan dalam surah Al Muddatstsir ayat 11sampai ayat 25.

Begitulah kekuatan kafir mencari momentum yang tepat untuk melancarkan serangan kepada dakwah. Momentum musim haji yang mengumpulkan umat manusia dari berbagai penjuru Arab mereka jadikan sebagai sarana konsolidasi. Mereka berencana dan Allah punya rencana, dan rencana Allah pasti akan mengalahkannya. Wallahu a’lam.

ZAHIR


Alam pedalaman menempa pribadi Zahir ibn Haram menjadi pribadi yang tangguh, keras, kuat, dan kekar. Sehingga ia dikenal sebagai salah seorang sahabat yang sangat pemberani tetapi kasar dan primitif. Tabiat keras dan kasarnya itu membuatnya dijauhi oleh banyak orang, karena merasa kesulitan berkomunikasi, kecuali Rasulullah saw. 

Rasulullah saw  mencintainya dengan sepenuh hati, memperlakukannya dengan lembut dan penuh sayang. Rasulullah saw dapat memahami dan memaklumi sikap kasar dan primitifnya itu sebagai akibat dari lingkungan pedalaman yang mempengaruhinya, di samping minimnya pengetahuan, dan kesempatan berinteraksi dengan masyarakat Madinah yang telah terbina, tertata dan berperadaban mulia terlebih dulu.

Situasi geografis, kesulitan transportasi dan komunikasi waktu itu menjadi penyekat Madinah dengan pedalaman, dan mengakibatkan kesenjangan dalam banyak hal termasuk kesenjangan pendidikan, adat kebiasaan, tata cara pergaulan, dan kemajuan-kemajuan lain yang terjadi di Madinah.  

Dengan seluruh keterbatasannya,orang-orang Badui tetap menyimpan kebaikan tersendiri. Di antara kebaikan Zahir yang tidak banyak diketahui oleh banyak orang adalah kebiasaannya membawa oleh-oleh dari pedalaman seperti delima atau buah-buahan lain hasil kampung halamannya untuk dihadiahkan kepada Rasulullah saw. Kebaikan yang juga masih terpelihara pada sebagian masyarakat pedalaman di dunia hari ini yaitu kedermawanan dan kesederhanaan dengan membawakan hasil pertanian atau perkebunan kampung untuk menjadi oleh-oleh ketika berkunjung ke kota.

Ketika sebagian sahabat menjauhi Zahir saat datang ke Madinah karena sikap primitifnya itu, Rasulullah saw menyatakan: “Sesungguhnya Zahir itu adalah seorang badui kita dan ia tidak akan datang ke sini kecuali karena ingin berbaur dengan kita”. Pernyataan Rasulullah saw yang mengingatkan para sahabat agar dapat menerima dengan senang hati dan memaklumi kehadiran Zahir yang dianggap primitif itu dengan seluruh kekurangan dan ketidak tahuannya kemudian mengajarinya tentang tata cara pergaulan dan peradaban Madinah.

Untuk mengapresiasi kebaikan dan perhatian Zahir yang membawakan oleh-oleh dari kampungnya itu, Rasulullah saw tidak lupa memberikan hadiah keperluan-keperluan pokok yang berguna dan mempersiapkannya dengan baik sebelum hari Zahir kembali ke pedalaman. Rasulullah saw berusaha membalas kebaikan orang lain dengan yang lebih baik lagi. 
  
Bahkan cinta dan perhatian Rasulullah saw kepada Zahir pernah didemonstrasikan di depan umum. Suatu hari ketika Zahir sedang berada di pasar Madinah, menjual barang-barang hasil kampungnya, tanpa diketahui oleh Zahir. Rasulullah saw mendekap, memeluk dan menutup matanya dari belakang. Zahir terkejut dan berkata: “Lepaskan saya, lepasakan saya”. Setelah Rasulullah saw melepaskan tangannya, Zahir memutar badan dan melihat Rasulullah ada di hadapannnya. Zahir mengungkapkan kebahagiannya karena dipeluk Rasulullah saw dari belakang, dengan mengatakan: “Tidak pernah saya merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan ketika badan saya bisa menempel dengan badan Rasulullah saw”.

Perangai Zahir yang dianggap primitif dan kasar itu Rasulullah saw perhalus dengan energi cinta dan kasih sayang. Sentuhan kata-kata lembut, perhatian yang berkesan dan hadiah-hadiah yang bermanfaat akan sanggup merubah sikap dan prilaku. Seseorang yang semula benci akan berubah cinta karena sentuhan kata-kata dan perhatian yang berkesan. Sebaliknya, seseorang yang semula cinta akan berubah benci karena kata-kata, sikap yang tidak berkenan atau miskin perhatian. Rasulullah saw mengubah peradaban dengan cinta dan kasih sayang.

Tidak berhenti sampai di situ. Unutk mencairkan sikap Zahir yang terkesan kasar itu Rasulullah saw melanjutkan candaannya dengan Zahir. Di tengah keramaian pasar itu Rasulullah saw gandeng tangan Zahir, sambil berdiri dan  tertawa Rasulullah SAW menjajakan: “Siapa yang mau membeli budak ini? siapa yang mau membeli budak ini?” Zahir yang merasa dijajakan dengan diobral berkata: “Ya Rasulullah.. Engkau anggap saya barang dagangan yang tidak laku dijual”.

Sikap Zahir sedikit demi sedikit berubah. Perangai kasar dan primitif Zahir diasah dengan candaan dalam pergaulan yang penuh cinta,dan kelembutan. Sisi kemanusiaan yang sering hilang oleh tekanan ketegangan, dan kerasnya kehidupan.
Status orang Badui yang disandangnya melekatkan kesan marginal di masyarakat dan membuatnya dipandang rendah oleh sebagian orang.  Rasulullah saw menggunakan cara halus dalam mengingatkan para sahabat agar tidak memandang rendah orang lain karena status sosial itu dengan cara mengobral Zahir. Sebuah sindiran tingkat tinggi. Karena biasanya yang dijual obral itu adalah sesuatu yang sudah tidak laku. Itulah yang disampaikan oleh Zahir ketika diobral Rasulullah saw.

Maka segera Rasulullah saw naikkan kemuliaan dan harga diri Zahir, yang sempat dijual obral itu dengan mengatakan: “Engkau di sisi Allah bukanlah yang tidak laku, akan tetapi Engkau berharga mahal”. Subhanallah.

Selasa, 26 Juni 2012

TUDUHAN GILA


Di antara isu yang kaum kafir Quraisy sebar luaskan di Makkah tentang Nabi Muhammad saw adalah sebutan sebagai majnun (orang gila). Tuduhan ini mereka lancarkan untuk menjauhkan Nabi Muhammad saw dari siapapun, terutama para pengunjung Ka’bah agar tidak mendekatinya dan dapat terpengaruh oleh dakwahnya.
 
Maka ketika Dhimad al-Azdiy datang ke Makkah iapun  mendengar berita tentang Nabi Muhammad  saw yang mereka sebut gila itu. Dhimad  al-Azdiy merasa prihatin dengan kondisi ini. Dhimad al-Azdiy bahkan ingin bertemu Nabi Muhammad saw dengan harapan agar dapat membantu menyembuhkan penyakit gila seperti yang ia dengar, karena  Dhimad al-Azdiy terkenal sebagai perawat orang gila di kaumnya dan membantu menyembuhkannya. “Kalau saja saya bisa berjumpa dengan orang itu, dan Allah berikan kesembuhannya lewat sentuhan tanganku,” begitu Dhimad al-Azdiy berharap.

Dan harapan itupun terkabul, Dhimad al-Azdiy berjumpa dengan Nabi Muhammad saw. Dhimad al-Azdiy berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya saya mendengar orang-orang menyebutmu gila, dan saya ingin meruqyah penyakitmu ini. Dan sesungguhnya Allah SWT telah menyembuhkan beberapa orang lewat sentuhan tangan saya. Apakah engkau bersedia?”

Ungkapan ini bisa membuat marah orang yang mendengarnya. Tetapi Nabi Muhammad saw menanggapinya dengan sabar dan tenang, tidak marah, dan tidak menunjukkan sikap kesal. Nabi Muhammad melihat ketulusan dan kepolosan Dhimad Al-Azdiy, orang yang telah berpengalaman membantu menyembuhkan orang-orang gila.

Maka dengan sabar dan bijak Nabi Muhammad menjawab tawaran Dhimad al-Azdiy dengan mengatakan: “Sesungguhnya segala puji milik Allah, kami memuji-Nya, dan memohon pertolongan-Nya. Barang siapa yang Allah telah berikan hidayah maka tidak seorang pun yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang telah Allah sesatkan maka tidak ada seorangpun yang dapat menunjukinya. Dan saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya, dan utusan-Nya”.

Jawaban  Nabi Muhammad saw yang jelas dan lugas itu mengejutkan Dhimad al-Azdiy. Tidak ada sedikitpun ciri orang gila seperti yang disebar luaskan kafir Quraisy Makkah dalam diri dan ucapan Nabi Muhammad saw. Bahkan Dhimad al-Azdiy merasakan hal yang luar biasa dari  jawaban Nabi Muhammad saw yang sangat singkat itu. Dan setelah mendengar jawaban itu Dhimad al-Azdiy meminta agar Nabi Muhammad saw mengulanginya, “Ulangilah ucapanmu itu”.  Nabi Muhammad saw mengulanginya hingga tiga kali.

Dhimad al-Azdiy terpesona dan menghormati Nabi Muhammad saw dengan sebaik-baiknya seraya berkata, “Saya telah mendengar berulang kali mantra para dukun, jampi-jampi para penyihir,  ungkapan para penyair, tetapi belum pernah mendengar ungkapan indah seperti yang telah engkau ucapkan. Alangkah dalam sekali ucapanmu itu, sehingga sampai ke dasar dasar samudra.  Ulurkan tanganmu, saya akan berjanji kepadamu menjadi muslim pengikutmu”.

Nabi Muhammad saw mengulurkan tangannya, menerima janji Dhimad al-Azdiy untuk masuk Islam dan menjadi pengikutnya. Lalu Nabi Muhammad saw bersabda: ”Kamu mewakili kaummu semua untuk masuk Islam? Dhimad al-Azdiy menjawab: “Ya, saya mewakili seluruh kaum saya untuk setia dan berjanji masuk Islam”.

Dhimad al-Azdiy sangat terkesan dengan ungkapan indah Nabi Muhammad saw yang sangat jelas dan terang. Ungkapan Nabi Muhammad saw adalah suara hati  yang paling dalam, bukan retorika, bukan pula permainan kata-kata dari bibir dan lidah yang tidak bertulang,  sehingga mampu menembus hati Dhimad al-Azdiy dalam waktu sekejap dan menebar benih iman di hatinya.  Ungkapan yang bersumber dari hati akan masuk pula ke dalam hati. Dan kata-kata yang hanya permainan bibir dan lidah hanya akan lewat di telinga, tidak mampu menembus hati manusia.

Jawaban Nabi Muhammad saw kepada Dhimad al-Azdiy adalah muqaddimah khutbah yang sangat indah karena berisi pujian dan syukur kepada Allah. Mengakui Kebesaran dan Keagungan Allah, serta Ke-Esa-an Allah untuk disembah diminta pertolongan.
Begitu cepatnya Dhimad al-Azdiy menyatakan Islam membuktikan bahwa agama ini adalah agama fithrah dan ketulusan. Dakwah Islam adalah ketulusan sebagaimana Dhimad al-Azdiy datang menemuinya juga dengan ketulusan.

Demikianlah jiwa manusia yang merdeka, bersih dari kedengkian, tidak dipenuhi oleh kepentingan-kepentingan duniawi akan lebih mudah merespon dan memenuhi panggilan dakwah, lebih cepat menyerap hidayah. Jiwa yang fitri itu menemukan habitat aslinya. Habitat yang memperkenalkannya dengan Yang Maha Pencipta, dan memberinya harapan untuk kehidupan yang lebih berharga.

Tuduhan negatif  yang disebar luaskan oleh kaum kafir Quraisy itu menggugah hati Dhimad al-Azdiy dan berubah menjadi pintu masuknya hidayah Islam ke dalam hatinya. Wallahu a’lam.