Kehabisan
bekal makanan, Nabi Musa as bersama Khidhir singgah di sebuah perkampungan.
Tapi tidak ada seorang pun di kampung itu yang berkenan menerimanya sebagai
tamu yang berhak dijamu dan dihormati. Penduduk kampung pelit dan tidak mau
memberi.
Dalam
perjalanan, keduanya mendapati sebuah tembok miring yang hampir roboh. Nabi
Musa dan Khidir merenovasi tembok miring itu hingga kembali berdiri kokoh. Nabi
Musa sempat mengusulkan, “Jika kamu mau, niscaya kamu bisa mengambil upah untuk
itu”.
Pernyataan
Nabi Musa menjadi batas perjanjian dan perpisahan keduanya. Namun sebelum
keduanya berpisah, Khidhir menjelaskan pengalaman perjalanannya kepada Nabi
Musa, hingga pada kisah tembok yang di kampung pelit itu.
“Adapun
dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua. Sedang ayahnya adalah
seorang yang shalih. Maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.
Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu
adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya," (QS
18:82)
Dalam salah
satu episode kisah Nabi Musa bersama orang shalih yang sering disebut Khidhir
dalam surah al-Kahfi (QS.18) di atas, terdapat fragmen kisah yang menginspirasi
para orangtua dalam menjaga masa depan anak-anaknya.
Kesibukan di
setiap awal tahun ajaran baru di negeri ini selalu ditandai dengan kesibukan
para orangtua untuk pendidikan yang berkualitas demi masa depan anak-anak.
Kesalihan orangtua menjadi faktor utama yang menjamin dan melindungi masa depan anak-anak itu dari bahaya yang mengancam masa depannya. Apalagi jika keshalihan orangtua didukung oleh kesalihan anak-anaknya.
Kesalihan orangtua menjadi faktor utama yang menjamin dan melindungi masa depan anak-anak itu dari bahaya yang mengancam masa depannya. Apalagi jika keshalihan orangtua didukung oleh kesalihan anak-anaknya.
Hari
terakhir Umar bin Abdul Azis menjadi khalifah Bani Umayyah, ia didatangi oleh
Maslamah bin Abdul Malik. Ia adalah salah seorang keluarga Abdul Malik bin
Marwan/keluarga Bani Umayyah yang mengingatkan Umar bin Abdul Aziz dengan
mengatakan, “Wahai Amirul mukminin, sesungguhnya engkau telah membuat
anak-anakmu ini miskin. Padahal harta negara berlimpah. Mengapa engkau tidak
berwasiat tentang anak-anakmu ini kepada kami agar hidup layak sebagaimana
keluarga Bani Umayyah yang lain?
Umar bin
Abdul Aziz berkata, “Bangunkan dan sandarkan aku." Lalu ia berujar tentang
pernyataan Maslamah yang menganggapnya telah membuat miskin anak-anaknya itu.
"Demi Allah saya tidak menghalangi dari hak mereka, tetapi saya tidak
memberikan yang bukan haknya. Tentang wasiat yang engkau sampaikan:
Sesungguhnya pelindungku ialah yang telah menurunkan al-Kitab (al-Qur’an)
dan Dia melindungi orang-orang yang shalih," kata Umar seraya mengutip
QS.7: 196.
Selanjutnya
Umar bin Abdul Aziz menegaskan: Anakku kemungkinannya adalah satu dari dua
pilihan. Kemungkinan pertama, ia menjadi orang-orang shalih yang bertaqwa
kepada Allah, maka pastilah Allah yang akan memberikan jalan keluar dari semua
masalah yang akan mereka hadapi. Atau kemungkinan kedua, mereka menjadi ahli
maksiat, maka saya tidak akan pernah menjadi fasilitator bagi perbuatan
maksiatnya.
Kemudian
Umar bin Abdul Aziz memanggil anak-anaknya (semua laki-laki berjumlah tiga
belas), setelah mereka berkumpul di hapadannya ia pandangi satu persatu
putranya itu. Kemudian ia berkata di hadapan Maslamah bin Abdul Malik,
“Anak-anak muda yang hendak aku tinggalkan dalam keadaan miskin tidak memiliki
kekayaan sedikitpun, sesungguhnya saya bersyukur kepada Allah, meninggalkan
anak-anak muda ini dalam keadaan baik."
Umar
melanjukan, "Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu berada dalam dua
pilihan. Pertama, meninggalkan kalian dalam keadaan kaya, tetapi ayahmu
akan masuk neraka karena memberikan fasilitas yang bukan hak kalian. Kedua,
meninggalkan kalian dalam keadaan miskin, tapi ayahmu berpeluang masuk surga
karena ayah hanya meninggalkan yang memang menjadi hak kalian.” lalu Umar bin
Abdul Aziz lebih senang meningalkan mereka dalam keadaan miskin tetapi shalih
dan bertaqwa.
Riwayat
berikutnya menyebutkan bahwa setahun setelah wafat ayahnya itu, anak-anak Umar
bin Abdul Aziz telah tercatat sebagai para muzakki (pembayar zakat) yang
menandakan bahwa mereka berkemampuan dan berdaya secara financial.
Kesalihan
dan ketaqwaan semua pihak, anak didik, orangtua, guru, lingkungan masyarakat,
sangat berharga bagi masa depan anak-anak ini melebihi faktor lainnya. Maka
membiasakan mereka untuk bermoral terhormat, jauh dari kehinaan, mendisiplinkan
diri untuk taat kepada Allah SWT, menghiasi diri dengan akhlak dan sikap-sikap
mulia akan membantu anak-anak meraih masa depan gemilang bagi kejayaan umat,
bangsa dan negara.
“…Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan,” (QS 58:11).
(Majalah
SABILI No 01 TH XVIII)