Oleh : Hermawan Widodo
Om Lik dengan Pitungnya |
Rencana awal yang akan berangkat 5
orang yaitu saya, Agus, Wiwit dari Kepuh, ditambah Wuri dan Edi dari Glondhong.
Semua masih saudara. Wiwit dan saya adalah sepupu. Wiwit adalah anaknya Mbak
Jazim, adiknya bapak persis. Wuri dan Edi adalah sepupunya Agus, anak dari pak
dhenya. Jadi secara kekerabatan antara saya dan Agus, lebih jauh dibandingkan
dengan Agus dan mereka berdua. Demikian juga antara saya dan Wiwit lebih dekat
kekerabatannya dibandingkan dengan saya dan Agus.
Ketika saya bertiga menghampiri Wuri
dan Edi di Glondhong, menjelang detik-detik akhir keberangkatan, Wuri dan Edi
tidak jadi ikut. Sebenarnya dengan hanya bertiga, sudah hampir dibatalkan tour
itu. Namun karena sudah terlanjur pamitan pada ibu, saya, Agus dan Wiwit
memutuskan tetap berangkat bertiga. Tentu setelah memberikan ceramah panjang
lebar kepada Wuri dan Edi yang membatalkan rencana di detik-detik akhir. Isi
ceramahnya adalah tentang kesetia kawananan, tepatnya kesetia saudaraan.
Kami bertiga berangkat dari
Glondhong dengan dua motor. Agus sendirian mengemudikan si pitung merah
andalannya, saya dan Wiwit goncengan mengendarai motor Honda Astrea 800 hitam.
Start jam 5 sore, langsung meluncur
ke arah timur, masuk jalan Wonosari terus ke timur hingga Piyungan, belok ke
utara sampai candi Prambanan, baru masuk jalan Solo. Di Prambanan kami berhenti
di warung pinggir jalan, makan gorengan dan teh panas.
Habis maghrib perjalanan dilanjutkan
menyusuri jalan Solo. Laju motor dipacu tidak terlalu kencang, Klaten lewat,
Delanggu terus, Solo masuk. Kami berhenti dan istirahat sebelum masuk
Karanganyar. Sholat isya’ di sebuah masjid pinggir jalan, kemudian minta ijin
kepada penjaga masjid untuk menginap di masjid. Tentu dengan basa-basi
pertanyaan dari mana mau ke mana dan sebagainya. Yang jelas karena capai,
sekitar jam 9 malam lewat sedikit, kami bertiga sudah tertidur.
Hawa yang dingin ternyata mampu
menembus selimut jaket dan sarung. Beberapa kali saya terbangun dan merasakan
dinginnya malam menusuk tulang. Sebelum
jam 4 subuh saya bangun, kemudian membangunkan Agus dan Wiwit. Saya ajak mereka
untuk segera cuci muka karena sudah ada jama’ah masjid yang hendak sholat
subuh.
Selesai sholat, kami sempat mandi
secukupnya sebelum melanjutkan perjalanan. Mandi yang benar-benar dingin luar
biasa. Begitu siap kami pamit kepada penjaga masjid, disertai basa-basi
terimakasih.
Perjalanan dari masjid hingga
Tawangmangu ditempuh sekitar 2 jam. Sepanjang perjalanan menuju Tawangmangu,
banyak sawah di kanan kiri jalan. Tanpa hambatan berarti kami bertiga sampai
juga di pintu masuk obyek wisata Tawangmangu. Yang dimaksud dengan hambatan
yang berarti itu bukan berarti kami lancar jaya dalam perjalanan. Dengan modal
motor Honda bebek ’70 an jelas dibutuhkan banyak keberanian dalam mendaki area
pegunungan hingga mencapai pintu masuk.
Jalan yang dilalui memang turun naik
dengan kiri kanan jalan adalah pegunungan yang dipenuhi pohon-pohon besar. Di
sepanjang jalan banyak orang yang memberikan bantuan bagi mobil yang tidak kuat
melaju dalam tanjakan. Saat mobil sudah dalam limit mendekati mogok, maka
dengan sigap orang-orang yang standby di kiri kanan jalan segera memasang
ganjel tepat di bawah ban sebagai penghalang agar mobil tidak melaju mundur.
Selama perjalanan kami tidak hanya menemukan satu mobil yang mengalami nasib
naas itu. Ada beberapa mobil yang mengalami kejadian yang sama. Jadi meskipun
si pitung tertatih-tatih, perjalanan tersebut kami kategorikan tanpa hambatan
berarti.
Meskipun sudah berada di pintu
gerbang masuk kawasan wisata Tawangmangu, kami tidak masuk. Kurang paham apa
pertimbangan saat itu, namun faktor dana sepertinya yang mendorong kami
memutuskan hal itu. Sebagai gantinya kami bertiga membeli sate kelinci dan
lontong yang memang banyak dijajakan di sekitar lokasi itu. Karena belum sarapan,
sate kelinci dan lontong langsung habis dan terasa enaknya. Perut terisi,
pikiran terang muncul ide untuk melanjutkan perjalanan.
Di peta yang sebelumnya dibaca,
sebelah timur Tawangmangu terdapat telaga Sarangan. Maka kami memutuskan untuk
meneruskan sampai telaga Sarangan. Terus terang waktu itu kami sama sekali buta
dan memang belum pernah ada yang sampai telaga Sarangan. Namun mendengar kata
telaga Sarangan sudah sering. Lokasinya secara administrasi sudah masuk
kabupaten Ngawi Jawa Timur.
Turun dari pintu masuk Tawangmangu,
berbekal penjelasan dari orang yang kami jumpai di jalan, kami menyusuri jalan
ke arah timur, ke telaga Sarangan. Rute menuju ke Sarangan ternyata lebih sulit
dibandingkan saat naik ke Tawangmangu. Tanjakan yang curam, dan kelokan tajam
sangat sering kami lalui. Tentu kondisi itu menjadikan si pitung harus bekerja
sangat-sangat keras. Saking ngototnya dalam usaha itu, knalpotnya harus copot
yang berakibat suara yang keluar sangat keras mirip gergaji mesin, tidak
karu-karuan. Masih untung ada kawat, sehingga knalpot itu diikat dengan kawat,
mampu sedikit berkurang bisingnya.
Setelah hampir 3 jam berjuang,
akhirnya sampai juga kami di telaga Sarangan. Perjalanan ini masuk kategori
sangat tidak lancar. Kami masuk ke lokasi wisata telaga Sarangan dan istirahat
menikmati pemandangan di pinggir telaga sambil makan dan minum.
Waktu itu ingin rasanya naik kuda
yang banyak ditawarkan para pemilik kuda. Namun terus terang kembali duwit yang
menentukan. Tidak ada keberanian sekedar menawar untuk naik kuda. Akhirnya kami
hanya duduk-duduk di pinggir telaga. Ternyata hanya duduk-dudukpun ada
capeknya. Sekitar jam 2 siang setelah benar-benar jenuh di situ, kami putuskan
untuk pulang. Dengan perhitungan kasar waktu untuk perjalanan pulang, Sarangan-Tawangmangu
3 jam, Tawangmangu-Solo 2 jam, Solo-Jogja 2 jam. Jadi jika berangkat jam 2
siang sampai rumah paling cepat jam 9 malam.
Agus kembali dengan si pitung yang
knalpotnya sudah diikat dengan kawat, saya dan Wiwit berboncengan. Pengemudi
motor saat pulang gantian saya yang di depan, Wiwit yang gonceng.
Terus terang saya belum biasa bahkan
tidak pernah mengendarai motornya Wiwit. Jadi terasa kaku dan butuh
penyesuaian. Saat di turunan yang cukup tajam, saya agak grogi. Motor agak
oleng ke kiri. Padahal ada orang yang sedang berdiri di pinggir jalan memegang
sabit mau mencari rumput. Motor yang saya kendarai hampir-hampir menyerempet
orang itu. Hanya tinggal beberapa centimeter saja. Yang terbayang saat itu
adalah kaki saya nyerempet sabit orang itu. Andaikan itu terjadi, pasti kaki
saya putus atau paling tidak akan mengalami luka sangat-sangat parah. Untungnya
kejadian itu tidak sampai menimpa saya dan Wiwit.
Begitu memahami kondisi itu, Wiwit
kemudian ambil alih kemudi, saya kembali gonceng di belakang. Sebenarnya itu
yang saya harapkan. Saya mengemudikan motor itu karena terpepet. Pertama karena
kasihan melihat Wiwit sejak kemarin yang di depan. Kedua juga ada unsur ingin
memacu adrenalin dan merasakan sensasi
melaju dengan motor di area yang menantang itu. Kenyataannya saya tidak begitu
mampu mengendalikan laju motor. Daripada saya membahayakan diri saya dan Wiwit,
maka keputusan bijak jika saya di belakang saja.
Si pitung tidak seperti saat
berangkat, dia mengalami kesulitan mengikuti ritme tanjakan dan turunan medan.
Sering terdengar dia batuk-batuk, yang sangat jelas dari suara knalpotnya.
Beberapa kali Agus harus turun untuk sekedar membenahi kembali knalpotnya yang
diikat secara darurat itu. Namun secara umum, perjalanan dapat dilalui dengan selamat.
Sampai Tawangmangu, motor kami pacu lagi menuju Solo.
Sekitar jam 7 malam kami sampai di
Solo, kemudian istirahat setelah hampir 5 jam menggeber si pitung. Biasa warung
angkringan jadi tumpuan. Teh panas dan gorengan jadi langganan. Tidak lama kami
istirahat, perjalanan dilanjutkan. Agus sejak dari Solo lebih sering berhenti
untuk kembali mengikat knalpotnya. Namun begitu sesudah sampai Prambanan, dia
putus asa. Knalpot yang sudah berulang kali copot itu dia masukan tas, dan si
pitung melaju tanpa knalpot yang memadai. Tentu suara yang ditimbulkan sangat
tidak merdu, orkes gergaji mesin terdengar sepanjang perjalanan. Meski begitu
si pitung tetap digeber hingga sampai Kepuh, mungkin Agus sudah kadung mangkel.
Meleset dari prediksi, kami sampai Kepuh sudah jam
11 malam, 2 jam terlambat dari perkiraan. Kami cukup senang karena selamat
sampai rumah, meskipun si pitung tidak dapat diselamatkan knalpotnya. Kami tiba
di rumah sudah larut malam, karena sebelumnya sudah pamit kalau mau pergi ke
Tawangmangu, bapak ibu tidak mempermasalahkan.
NB : Cerita ini sesuai seperti yang dialami Bapaku, Pak De Hermawan Widodo dan sahabat sahabatnya dan ditulis oleh Pak De Hermawan Widodo sendiri. Sedangkan foto hanyalah sekedar numpang saja. Trim's Pak De Hermawan.