Musim haji
itu menjadi musim yang menggelisahkan para pemuka kafir Quraisy. Kedatangan
ummat manusia dari berbagai penjuru Arab menimbulkan kekhawatiran besar bagi
mereka akan tersebar luaskannya Islam yang Rasulullah SAW ajarkan.
Maka
berkumpullah tokoh-tokoh kafir Quraisy itu di rumah Al Walid bin Al Mughirah,
ayah Khalid bin Al Walid, seorang pemuka Quraisy yang sangat disegani
karena senior dan kecerdasannya dalam memutuskan perkara. Kaum kafir Quraisy
melakukan konsolidasi kebatilan untuk membendung perkembangan dakwah yang terus
memancar.
Mereka
berkata: “Wahai Abu Abdi Sayms, katakan kepada kami satu pernyataan yang akan
kami jadikan sebagai referensi”. Kaum kafir Quraisy meminta agar Al Walid bin
Al Mughirah menetapkan satu sikap yang akan mereka terima semua. Tetapi Al
Walid menolak cara ini dan mengajak mereka bermusyawarah, agar merasa terlibat
dan berlatih merumuskan masalah dengan baik. Al Walid berkata: “Coba katakan
apa yang menjadi usulan kalian, akan kami dengarkan dengan baik”. Ada yang
mengusulkan: ” agar kita sebut Muhammad itu sebagai Kahin (dukun/paranormal)”
Menanggapi
usulan ini Al Walid berkata: “Kita semua telah mengetahui sifat para dukun, dan
ternyata ia tidak memiliki sifat itu. Muhammad tidak memiliki mantra-mantra
sebagaimana para dukun”.
Lalu ada
yang mengusulkan: “Kalau begitu kita sebut saja Muhammad itu majnun (gila)”. Al
Walid kembali menolak usulan ini dengan mengatakan: “Kita semua sudah
mengetahui ciri orang-orang gila, dan kita tidak temukan satupun ciri itu ada
dalam diri Muhammad”.
Kemudian ada
yang mengusulkan: “Kita sebut saja Muhammad itu penyair”. Al Walid menanggapi
usulan inipun dengan mengatakan: “Kita juga sudah mengetahui dengan baik
kaidah-kaidah syair, yang pendek, sedang maupun yang panjang. Dan dalam seluruh
ucapan Muhammad itu tidak ada satupun yang sesuai dengan kaidah-kaidah syair
yang kita terima.
Maka bacaan Muhammad itu pastilah bukan syair Arab seperti
yang kita ketahui”.
Lalu ada
yang mengusulkan: “Bagaimana jika kita sebut dia sebagai saahir (tukang
sihir/hipnotis)”. Al Walid menanggapi usulan ini dengan mengatakan: “Kita juga
sudah mengetahui ciri-ciri dan aktifitas para saahir, dan kita tidak temukan
itu dalam bacaan Muhammad. Dan yang kita dengar dari bacaannya adalah keindahan
yang tiada tara, rasa manis yang tidak terkira, berakar kuat seperti pohon
kurma, berbuah rimbun di setiap ranting dan dahannya. Dan apapun yang kalian
tuduhkan kepadanya pastilah akan terkuat kebatilan tuduhan itu”.
Perdukunan
pada masyarakat jahiliyah saja dianggap sebagai sebutan negatif, setara dengan
orang gila, dan tukang sihir sehingga mereka ingin melekatkan itu kepada
Rasulullah saw. Namun musyawarah untuk mencari sebutan negatif yang dapat
menjauhkan dakwah Rasulullah dari kemungkinan simpati para pengunjung Ka’bah
musim haji tahun itu justru memunculkan sebuah kesimpulan yang menguatkan
kebenaran dakwah Rasulullah saw, karena semua predikat negatif yang hendak
mereka lekatkan pada Rasulullah saw itu akhirnya mentah oleh fakta dakwah
itu sendiri.
Al Walid
yang menjadi rujukan dalam musyawarah itu menunjukkan pengakuan obyektifnya
tentang kebenaran dakwah Rasulullah saw, tetapi semangat permusuhan dan
kebenciannya kepada dakwah tidak membuatnya putus asa untuk terus mencari
sebutan negatif yang bisa dilekatkan dengan dakwah Rasulullah saw ketika itu.
Maka Al
Walid mengatakan: “Sesungguhnya predikat yang paling dekat dengan Muhammad
adalah saahir (tukang sihir/hipnotis), maka populerkan istilah itu sebelum
kedatangan para pengunjung Ka’bah di musim haji ini. Dan jika ada yang meminta
pembuktian kemampuan sihirnya maka jelaskan bahwa Muhammad telah memisahkan
hubungan persahabatan antara bangsa Quraisy, ia telah memisahkan hubungan anak
dan orang tua, memisahkan hubungan antara saudara, memisahkan hubungan suami
dengan istrinya, dan bahkan hubungan keluarga”.
Penjelasan
Al Walid bin Al Mughirah dirasa cukup untuk menjadi argumen dalam memberikan
label saahir kepada Rasulullah saw. Peristiwa inilah yang diabadikan dalam
surah Al Muddatstsir ayat 11sampai ayat 25.
Begitulah
kekuatan kafir mencari momentum yang tepat untuk melancarkan serangan kepada
dakwah. Momentum musim haji yang mengumpulkan umat manusia dari berbagai
penjuru Arab mereka jadikan sebagai sarana konsolidasi. Mereka berencana dan
Allah punya rencana, dan rencana Allah pasti akan mengalahkannya. Wallahu
a’lam.