Hingga usia
43 tahun, Rasulullah saw hidup sangat terhormat di tengah masyarakat Quraisy
karena kepribadiannya yang istimewa dan terpuji. Quraisy menjulukinya al-Amin,
yang berarti orang yang sangat dipercaya. Julukan al-Amin ini teramat istimewa,
karena beliau hidup di tengah masyarakat pedagang yang semuanya sangat
bergantung kepada kepercayaan (amanah) sebagai penopang utama penghidupannya.
Julukan
al-Amin ini tidak didapatkan Rasulullah dengan pencitraan semu, melainkan
melalui pembuktian integritas diri yang mengalir sepanjang hidupnya. Sejak usia
remaja, Rasulullah sudah berusaha hidup mandiri dengan menggembala kambing
milik orang-orang kaya Makkah untuk mendapatkan upah beberapa qirath. (HR
Bukhari). Citra amanah semakin melekat setelah beliau menggeluti dunia dagang.
Dan,
puncaknya adalah saat beliau berusia 35 tahun, yaitu ketika para pembesar
Quraisy terlibat ketegangan panjang yang nyaris mengobarkan perang saudara
karena masalah peletakan Hajar Aswad. Menurut Ibnu Ishaq, berdasarkan usulan
Abu Umayyah bin Mughirah al-Makhzumi akhirnya mereka sepakat, orang yang
pertama masuk masjid adalah yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad.
Ternyata orang tersebut adalah Muhammad. Saat itulah mereka serentak berkata,
“Ini dia al-Amin. Kami rela menerimanya. Ini dia Muhammad.”
Namun apa
yang terjadi delapan tahun kemudian? Setelah Nabi saw mendeklarasikan kenabian
dan misi kerasulannya, “Wahai manusia, katakanlah tiada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah, niscaya kalian beruntung!” (HR Ahmad), sikap Quraisy
sepenuhnya berubah. Mereka tidak hanya mencabut rasa hormatnya kepada Nabi saw,
melainkan juga menyematkan sebutan-sebutan buruk guna menjatuhkan martabat dan
menodai kehormatannya. Kini, bagi mereka Muhammad adalah seorang gila,
pendusta, dukun, atau tukang sihir. Bahkan, nama Muhammad yang berarti terpuji
pun mereka ubah menjadi Mudzammam yang berarti tercela. (HR Bukhari).
Tudingan
miring Quraisy tidak hanya tertuju pada kepribadian Muhammad saw, karena
sasaran utama mereka adalah al-Qur’an yang menjadi bukti kerasulannya.
Karenanya, ayat-ayat al-Qur’an hanya dipandang sebagai mitologi yang melegenda
(asathir al-awwalin), karya plagiasi yang dipelajari dari pemeluk kitab
terdahulu (yu`allimuhu basyar), dan keindahan bahasanya hanya disetarakan
dengan karya puisi seorang pujangga besar. Intinya, Quraisy menampik
otentisitas al-Qur’an sebagai wahyu Allah, melainkan hanya karya manusia biasa.
Mengapa
perubahan sikap Quraisy begitu cepat dan drastis? Mengapa stigmatisasi yang
dilakukan Quraisy sangat sporadis? Ada beberapa faktor yang saling terkait
dapat menjawab pertanyaan ini, tapi semuanya bermuara pada satu kata, takut.
Ketakutan Quraisy tampak begitu jelas dalam pernyataan Walid bin Mughirah
al-Makhzumi dalam pertemuan pertama para pembesar Quraisy untuk menyikapi
dakwah Rasulullah saw, “Wahai segenap pembesar Quraisy, musim haji hampir tiba
dan orang-orang Arab akan datang ke sini. Mereka tentu telah mendengar rumor
tentang orang ini (Muhammad). Untuk itu, kalian harus membuat satu keputusan
bersama. Jangan berbeda pendapat, sehingga kalian akan terkesan saling
menyanggah dan membantah.”
Quraisy
begitu ketakutan sehingga harus menggalang kekuatan bersama untuk menghadapi
geliat dakwah Islam yang masih seumur jagung. Quraisy menutup seluruh media dan
saluran informasi sehingga setiap orang yang datang dari luar Makkah hanya
mendapat informasi sepihak tentang dakwah Muhammad saw, tanpa memberi
kesempatan sedikit pun kepada beliau untuk melakukan pembelaan dan penjelasan.
Stigma
dilakukan oleh pihak yang ketakutan, meskipun mereka besar dan berkuasa.
Ketakutan itu muncul dari alasan yang disadari. Dalam hal ini, Quraisy pantas
takut karena mereka tahu dakwah yang masih embrio itu menjadi ancaman nyata
bagi kepentingan-kepentingan besarnya. Quraisy sadar, sebuah kekuatan yang dapat
mengambil keputusan di luar Darun Nadwah (rumah parlemen Quraisy) dapat
mengubah tatanan ekonomi dan sosial yang selama ini menopang syahwat kalangan
al-mutrafun-nya.
Buktinya
jelas, jangankan Muhammad saw dengan kapasitas individunya yang terlalu istimewa,
seorang budak hitam sekelas Bilal bin Rabah yang sepanjang hidupnya menyerahkan
nasib kepada sang majikan, Umayyah bin Khalaf, sanggup menemukan jati diri dan
menyatakan kemerdekaan kemauan dan keyakinan. Meskipun jasadnya diperbudak,
tubuhnya didera, kehormatannya dihina, tapi Bilal menolak perbudakan kehendak
dan keyakinan dengan tetap tegar menyebut, “Ahad, Ahad...” Itulah yang
menimbulkan ketakutan dan memunculkan stigma!