Berkali-kali
al-Qur’an menunjuk orang ini sebagai sosok kontroversi dalam tutur kata dan
perbuatannya yang merugikan Islam dan kaum Muslimin. Hampir setiap ada
fitnah yang menimpa kaum Muslimin di Madinah selalu ada peran Abdullah bin Ubay
sebagai provokatornya, bahkan peristiwa haditsul ifki (berita palsu) yang
menimpa Ummul Mukminin “Aisyah” ra al Qur’an mengisyaratkan Abdullah bin Ubay
sebagai pembesar yang mengendalikannya.
Hingga tahun
ke sembilan Hijriyah, sepulang Rasulullah saw dari perang Tabuk, di akhir bulan
Syawwal Abdullah bin Ubay menderita sakit. Mendengar Abdullah bin Ubay sakit,
Rasulullah saw menyempatkan diri untuk membesuknya. Usamah bin Zaid bercerita:
“Saya bersama Rasulullah saw mengunjungi Abdullah bin Ubay yang sedang sakit
untuk membesuknya. Rasulullah saw mengingatkan Abdullah bin Ubay “Bukankah saya
sudah melarang kamu dari dahulu agar tidak mencintai orang-orang Yahudi?”
Abdullah bin Ubay menjawab sekenanya, “Dulu Sa’d bin Zurarah membenci
orang-orang Yahudi, kemudian Sa’d bin Zurarah mati.”
Rasulullah
saw tidak kehilangan sisi kemanusiaan yang bermartabat meskipun kepada orang
yang sering Rasulullah ketahui dari Allah SWT sebagai pembuat masalah dan
fitnah di dalam barisan kaum Muslimin. Secara zahir Abdullah bin Ubay
menunjukkan dirinya sebagai seorang Muslim, maka ia berhak mendapatkan hak
keIslaman itu dengan dibesuk ketika sakit.
Pada bulan
kerikutnya, bulan Dzulqa’dah Abdullah bin Ubay wafat. Anak lelaki Abdullah bi
Ubay, yang bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay datang menemui Rasulullah
saw, meminta salah satu kain Rasulullah saw untuk dijadikan sebagai kafan bagi
Abdullah bin Ubay, ayahnya. Dan Rasulullah saw mengabulkan permintaan itu dan
memberikan kainnya kepada Abdullah bin Abdullah bin Ubay untuk menjadi kafan
bagi jenazah ayahnya.
Kemudian
Abdullah bin Abdullah juga meminta agar Rasulullah saw berkenan datang
menshalatkannya. Maka Rasulullah saw datang untuk menshalatkan jenazah itu.
Ketika Rasulullah saw berdiri hendak menshalatkannya, Umar bin Khaththab
menarik baju Rasulullah saw dari belakang dan berkata: “Wahai Rasulullah,
Engkau akan menshalatkannya? Bukankah Allah melarangmu untuk menshalatkannya?
Rasulullah
saw menjawab: “Sesungguhnya Allah SWT memberikan kepadaku dua pilihan kamu memohonkan
ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama
saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun
Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu
adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS at-Taubah:80) Dan saya akan menambahnya
lebih dari tujuh puluh kali.
Umar
berkata: “Sesungguhnya dia itu orang munafiq”. Setelah Rasulullah saw
menshalatkannya, barulah turun ayat: “Dan janganlah kamu sekali-kali
menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah
kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada
Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik. (QS. At-Taubah:84)
Rasulullah
saw menshalatkannya ketika itu karena memperlakukannya secara zahir, yaitu
pengakuan Abdullah bin Ubay bahwa ia seorang Muslim. Dan Islam mengajarkan
ummatnya untuk memperlakukan manusia sesuai dengan kondisi zahirnya, urusan
hati dan batinnya adalah kewenangan Allah SWT.
Bisa juga
dimaknai bahwa Rasulullah saw menshalatkan Abdullah bin Ubay –tokoh munafiq
itu- untuk menghormati anaknya –Abdullah bin Abdullah bin Ubay- yang merupakan
salah satu sahabat mulia. Sedangkan pemberian kain Rasulullah saw sebagai kain
kafan Abdullah bin Ubay bisa difahami sebagai pembuktian karakter Rasulullah
saw yang tidak pernah menolak permintaan siapapun selama Rasulullah saw
memilikinya. Bisa juga difahami bahwa Rasulullah saw tidak pernah melupakan
kebaikan Abdullah bin Ubay –tokoh munafiq itu- di samping keburukannya yang
tidak terhitung.
Bagi
Abdullah bin Abdullah bin Ubay kematian ayahnya itu menjadi salah satu bukti
bahwa berbakti kepada orang tua tetap dilakukan oleh seorang anak, meskipun ia
tahu bahwa ayahnya bergelimang dosa dan berlumur maksiat. Selama orang tua itu
tidak menyuruhnya berbuat maksiat atau melarangnya beramal shalih.
Orang baik
akan senantiasa membuat kebaikan meskipun kepada orang yang tidak baik.
Sedangkan orang yang tidak baik akan terus membuat keburukan meskipun kepada
orang yang membuat kebaikan. Wallahu a’lam.