NYULUH PEMBURU KERSEN
Hermawan Widodo
Kami lebih mengenal lapangan udara
Adisucipto dengan istilah Mbadhug atau Maguwo. Mendengar kata Mbadhug yang
terbayang saat saya masih kecil adalah sebuah tempat di atas awan, tempat kapal
terbang berhenti. Suatu definisi imajinatif, absurd jauh dari kenyataan.
Namanya juga anak, kadang daya fikir dan nalarnya masih berbasis kira-kira.
Meskipun nama Mbadhug begitu lekat
di telinga dan dekat secara geografis, tetapi saya belum pernah masuk ke tempat
mendaratnya pesawat terbang tersebut. Saya juga tidak paham apa itu terminal 1
terminal 2 dan sebagainya. Terminal yang saya pahami adalah terminal Umbulharjo
yang sekarang sudah pindah di Giwangan. Bahkan sampai umur saya nyaris 40 tahun
ini belum pernah sekalipun saya naik pesawat.
Ketika kelas 1 SMP, saya mempunyai
urusan dengan Mbadhug karena di sana ada kolam renang, tempat saya beberapa
kali mandi. Istilah mandi saya rasa lebih tepat sebab memang saya tidak
berlatih belajar teori maupun teknik berenang di sana. Kegiatan mandi di
Mbadhug biasanya saya lakukan saat hari Minggu, libur sekolah.
Dengan bersepeda, saya dan beberapa
teman kampung menuju kolam renang yang berada tidak jauh dari tempat landing
pesawat militer Angkatan Udara. Adisucipto selain sebagai lapangan udara
pesawat komersil, juga merupakan pangkalan militer AU, sekaligus kampus Akademi
Angkatan Udara.
Berangkat dari rumah jam tujuh pagi,
satu jam lebih baru sampai di lokasi. Setelah melewati beberapa blok asrama
tentara AU, baru sampai di kolam renang. Kolam itu tidak begitu luas, berada di
pinggir jalan dengan posisi di bawah bahu jalan. Kami harus jalan dulu menuruni
semacam lereng yang agak landai. Di sebelah kolam tumbuh pohon beringin besar.
Di samping pohon terdapat gua Jepang yang tidak begitu dalam. Menutut informasi
teman saya yang tinggal di asrama AU, banyak sekali gua Jepang di area
pangkalan militer.
Selain terdapat kolam renang, di
Mbadhug juga ada pesawat-pesawat kuno yang sudah rusak. Pesawat jaman Jepang
itu ditempatkan di beberapa lokasi. Kadang saat bermain, saya naik pesawat
rusak itu dan bergaya mirip-mirip pilot. Pesawat semacam itu juga terdapat di
kebun binatang Gembira Loka, yang ditempatkan di area bermain anak-anak
sehingga dengan mudah dinaiki.
Mbadhug juga dikabarkan memiliki
banyak sekali pohon kersen. Namun saya mengenal buah itu dengan nama talok.
Buahnya kecil berwarna merah dan manis. Saya menyebutkan sebagai kabar karena
memang belum pernah membuktikan dengan melihat langsung. Sudah menjadi
kebiasaan kami, jika ada hal baru selalu ingin dibuktikan.
Saya, Agus dan beberapa teman
berangkat ke Mbadhug selain mau mandi di kolam renang juga mau memburu kersen
yang kabarnya banyak itu. Lokasi kerumunan pohon kersen itu ada di sebelah
timur kolam renang, sekitar satu kilo meter. Dari kolam renang jika melihat ke
arah timur nampak pepohonan yang rimbun. Katanya itu adalah kerumunan pohon
kersen. Selesai mandi, kami berlima, saya, Agus dan tiga teman yang lain memacu
sepeda ke arah lokasi pepohonan itu.
Kami berlima sampai di suatu jalan
yang di sekitarnya sangat sepi dan tidak dijumpai bangunan maupun pepohonan
lainnya. Betul-betul lapang. Di depan kami ada rambu bulatan merah disilang dan
tulisan merah “Berbahaya Dilarang Lewat”. Kami masih belum paham maksud tanda
itu, tiba-tiba dari atas arah barat terdengar suara gemuruh. Ternyata ada
pesawat yang mau mendarat. Pesawat itu terasa begitu dekat, meskipun sebenarnya
tempat mendaratnya masih jauh di timur dari posisi kami berdiri.
Ada rasa takut juga membayangkan
jika tiba-tiba pesawat yang mendarat itu jatuh dan menabrak kami. Namun rasa
takut dan ragu langsung hilang begitu melihat tukang pencari rumput naik sepeda
melintasi jalur itu. Kami berlima memacu sepeda dengan kencang melintasi jalur
terlarang. Setelah melewati area terlarang itu, kami sudah mendekati lokasi
tumbuhnya pohon-pohon kersen. Dari tempat kami mengayuh sepeda memang nampak
semacam perkebunan kersen. Belum sampai ke tempat yang kami tuju, tanpa
disadari kami melewati pos tentara.
Tentu saja petugas jaga berseragam
loreng itu langsung mencegat kami. Begitu mendapat aba-aba berhenti dari
tentara, kami seketika berhenti. Suatu kondisi yang tidak pernah kami duga
sebelumnya. Sebab menurut informasi, kersen-kersen itu boleh diambil sesukanya.
Sepeda kami jatuhkan, karena semua
tidak ada jagrangnya. Seorang tentara berpangkat kopral menghampiri kami.
Karena paklik saya polisi, saya tidak begitu takut dengan tentara.
Seorang kopral dengan galak
bertanya, “Mau kemana?”
Kami jawab, “Nyari kersen!”
Dengan lebih galak dia membentak,
“Anak mana kamu, opo ra ngerti nek ora oleh lewat kono?!” sambil menunjuk jalur
yang tadi kami lewati.
Kemudian tanpa dapat memberikan
pembelaan dia langsung menetapkan vonisnya dalam bentuk 3 perintah : 1. Sana
pulang! 2. Ambil pentil ban sepedanya taruh di meja!, dan 3. Jangan pernah ke
sini lagi!!
Perintah yang langsung kami
laksanakan tanpa reserve. Dengan tangan-tangan kami sendiri, kami ambil pentil
ban itu. Tentu dengan terlebih dahulu mengeluarkan sampai habis seluruh angin
yang ada di dalam ban. Kemudian satu per satu, sepuluh potongan karet pentil
itu kami letakkan di meja jaga.
Tanpa menoleh lagi kami langsung
kabur dengan menuntun sepeda yang sudah tanpa karet pentil dan kempes total
itu. Kami menengadah ke atas, memastikan tidak ada pesawat yang akan mendarat
sebelum kami melewati lagi jalur terlarang yang telah membuat kami sial.
Setelah yakin, kami berlari dan istirahat di kolam renang.
Di tempat itulah baru kami sadari
betapa konyolnya nasib kami. Terbayang betapa nanti capeknya menuntun sepeda ke
tempat tambal ban. Untungnya sebelum keluar dari jalan besar, di blok O ada tukang
tambal ban yang cukup baik hati mau menyediakan potongan karet pentil sejumlah
sepuluh buah, termasuk dengan anginnya.
Saya tidak peduli harus membayar
berapa, yang penting sepeda bisa segera dinaiki. Perjalanan yang menimbulkan
kerugian besar, kersen satupun tidak didapat, malah sepuluh pentil hilang
disita tentara. Sebuah misi memburu kersen yang gagal total.
Urusan buru memburu sepertinya bagi saya tidak
ada satupun yang berujung menyenangkan. Pengalaman memburu ikan di malam hari
yang dikenal dengan nyuluh juga selalu berakhir tidak enak. Saya tidak mengerti
mengapa disebut dengan nyuluh, kok bukan mencari ikan di malam hari. Memang
saat berburu ikan di malam hari itu menggunakan lampu, biasanya petromak atau
senter sebagai suluh untuk menerangi. Mungkin itu asbabul nuzulnya penyebutan
nyuluh untuk aktifitas mencari ikan di malam hari.
Saya pertama kali nyuluh saat diajak
Lek Sur, bersama adiknya Slamet. Dengan modal petromak kami menyusuri area
persawahan. Saya kira mencari ikan itu di sepanjang sungai, ternyata hanya di
sawah. Yang dicari juga bukan ikan, namun keong dan belut. Keong banyak
dijumpai teronggok begitu saja di tepi-tepi sungai. Tinggal mengambil saja
kemudian dimasukkan ember. Sangat mudah.
Berbeda dengan belut. Dia berada di
tanah sawah. Ada yang bergerak ada juga yang diam. Belut tidak bisa langsung
ditangkap karena begitu licin. Meskipun sudah dipegang tangan namun tanpa kita
sadari belut itu sudah lepas dari tangan. Namanya juga belut, sudah diakui
dunia kelicinannya, meskipun belum terdaftar secara paten. Jadi jika ada
ungkapan selicin belut sangat pas adanya. Apalagi jika kemudian ditambah oli,
bagai belut kecemplung oli, luar biasa licinnya. Dibutuhkan tehnik dan keahlian
khusus untuk mampu memegang belut, hingga belut benar-benar tidak bisa lepas
dari cengkeraman.
Tetapi seserius saya belajar, saya
belum mampu memegang belut hidup tanpa terlepas dari tangan. Maka langkah
radikal yang diktempuh, begitu melihat belut di tanah langsung ditebas dengan
pisau hingga mati. Kalau sudah mati, jelas lebih mudah memegangnya.
Perjalanan menyusuri sawah itu
kurang lebih dua jam. Biasanya jam 9 malam, nyuluh disudahi untuk kemudian
mengolah hasil yang sudah diperoleh. Tahap inilah yang bagi saya tidak
mengenakkan, karena harus berhadapan dengan darah, kotoran dan sebagainya.
Setelah bersih masih harus dimasak dengan dikukus atau digoreng sesuai
keinginan. Biasanya belum sampai tahap memasak, saya sudah KO ngantuk luar
biasa dan kemudian tertidur karena capek.
Jika beruntung saya akan dibangunkan
untuk diajak makan. Jika tidak ada yang membangunkan, tidur saya berlanjut
sampai pagi, sehingga tidak sempat ikut makan. Kalaupun dibangunkan, kemudian
ikut makan, rasanya juga tidak enak karena nafsu makan kalah bersaing dengan
nafsu ngantuk. Apalagi kalau kemudian dimakan paginya, sudah tidak ada selera
sama sekali.
Jika nyuluh dilakukan pada malam
hari, saya bersama teman-teman sebaya, Limpung, Agus dan Pomo juga pernah
memburu ikan di siang hari. Sehingga aktifitas memburu itu tidak bisa disebut
dengan nyuluh karena tidak membawa suluh. Kami menyusuri sepanjang anak sungai
Kepuh, dari mulai hulu di ujung dusun hingga prapatan mendekati dusun Jambidan.
Meskipun dengan penuh semangat dalam
memburu ikan, namun sudah lebih dari dua jam tidak satu ekorpun ikan yang
didapat. Di sela putus asa itu datang Mbah Yoso membawa seekor musang yang
sudah mati. Oleh Mbah Yoso hewan buas itu diberikan kepada kami. Dengan
semangat 45 kami pulang membawa musang itu dan mengklaimnya sebagai hasil
buruan kami.
Sepanjang jalan hingga sampai rumah
Limpung banyak orang yang menanyakan dari mana dapat musang, tentu disertai
rasa kagum. Dengan dada membusung kami menjawab serempak di prapatan. Rasanya
kami saat itu merupakan pemburu heroik yang mampu menangkap musang. Bukan
pekerjaan gampang menangkap musang, apalagi oleh anak-anak umur 10 tahunan.
Sampai rumah Limpung langsung
dibetheti dan diolah. Lagi-lagi dalam tahap ini saya menemui masalah. Bukan
karena terlalu lama menunggu, karena proses ini lebih cepat dibanding dengan
mengolah keong dan belut. Masalahnya adalah begitu sudah matang dan disajikan
di piring untuk dimakan, selera makan saya langsung hilang. Mencium baunya
saja, saya langsung eneg. Ada aroma yang tertolak oleh indra hisap saya.
Ditambah dengan ingatan pada wujud binatang semula berupa musang. Semakin
menguatkan ketidak seleraan saya pada sajian daging di depan saya.
Saya tidak makan masakan musang yang
sudah matang hingga saya pulang. Saya tidak menyesal, tidak makan hasil buruan
bersama-sama itu. Saya hanya senang menikmati hiruk pikuk memburunya, bukan
menikmati hasilnya.
Saya juga pernah bareng-bareng
mencari ikan, dengan teman SD dari desa Glondong. Waktu itu ada Isul, Odin dan
kakaknya Tarom, dan satu lagi teman yang paling tua Peyek panggilannya. Isul
saat ini menjabat sebagai Lurah di Wirokerten. Odin sudah almarhum, beritanya
karena gigitan ular. Sedang Tarom dan Peyek, saat ini saya belum paham
keberadaannya.
Sebenarnya kegiatan utamanya bermain
saja. Tetapi karena Peyek mau mencari kayu bakar, jadinya kami turut membantu
dengan tujuan utama tetap bermain. Ketika sampai di salah satu sungai yang
airnya tidak mengalir, Peyek mengajak untuk mencari ikan. Maka dengan
memanfaatkan getah rejenu yang beracun, kami buat ikan-ikan itu pusing dan naik
ke permukaan air. Saat itulah kami mengambil ikan-ikan yang pingsan itu. Sambil
asyik mengambil ikan, kami selingi dengan omongan dan ejek-ejekan.
Ternyata olok-olok itu berkembang
panas. Terjadi saling olok antara Tarom dan Peyek. Pertikaian omongan itu terus
memanas hingga tak terkendali, dan terjadilah pertikain fisik. Dengan gerak
cepat, Tarom dipegang oleh Peyek, kemudian dijatuhkan dan dibenamkan dalam air.
Tentu saja Tarom megap-megap. Kami yang masih anak-anak hanya mampu melihat,
tidak bisa berbuat apa-apa. Untungnya Peyek tidak berlanjut emosinya. Melihat
Tarom megap-megap dia lepaskan cengkeramannya, dan menghempaskannya.
Sambil masih menahan marah dia
bilang, “Kalau bukan tetangga dan masih kecil sudah tak habisi!”
Akhir dari aktifitas mencari ikan
yang sangat tidak mengenakkan. Ikan tidak didapat, malah perkelahian yang
terjadi. Kami pulang bersama, tanpa membawa ikan-ikan yang sudah terkumpul.
Tarom dan Peyek tidak saling sapa selama perjalanan. Sejak itu saya tidak mau
lagi diajak mereka untuk mencari ikan di Glondong.
Peristiwa tidak mengenakkan juga
saya alami ketika berhadapan dengan penyuluh kodok. Saat itu ba’da Isya’ saya
terasa mau ke belakang. Karena biasa buang hajad di sungai, saya mengambil
sepeda dan mengontelnya ke sungai di Kepuh Kidul dekat gardu ronda.
Ketika saya sedang menikmati ritual
berjongkok membuang hajad, ada orang yang sedang nyuluh kodok lewat di depan
saya. Orang yang nyuluh kodok itu memiliki performa yang khas. Tutup kepala
dilengkapi dengan senter, membawa tongkat panjang yang ujungnya ada senjata
tajam semacam trisula kecil, dan ember atau sejenisnya untuk menampung kodok.
Kodok hijau yang dicari para pemburu itu, untuk dimasak menjadi swike kodok
atau jenis masakan yang lain.
Saat orang itu melintas, tanpa sadar
perpaduan mulut dan bibir saya mengeluarkan bunyi ciet.ciet seperti suara kodok
yang sedang sakaratul maut. Mendengar suara yang mirip-mirip kodok, orang itu
berhenti, kemudian mengarahkan senter dan senjatanya ke arah saya. Saya kaget
mak jenggirat, disertai rasa takut.
Sambil marah orang itu menghardik, “
Ciet.ciet pingin tak sunduk koyo kodok iki!”
Tentu saya takut sekali. Bahkan rasa
takut juga menghinggapi si pisang kuning sehingga tidak mau keluar. Nafsu be’ol
saya langsung sirna akibat intimidasi kejam itu. Saya tidak jadi bernafsu untuk
buang hajad.
Untung orang itu hanya menggertak
saja, kemudian pergi. Terbayang jika orang itu benar-benar menjadikan saya
laksana kodok, hii ngerii. Saya pulang dalam kondisi yang belum lega.
Kesimpulannya adalah, tidak ada enaknya berurusan dengan segala hal yang
berhubungan dengan menyuluh ini.(*)
NB : Cerita ditulis oleh Pak De Mawan. ( cerita seperti yang dialami Pak De Mawan, Bapaku dkk )